The Hobbit : Moral Value

Beberapa hari ini aku baru saja menyelesaikan menonton trilogi The Hobbit. Awalnya kupikir ini cuma akan jadi hiburan selingan di tengah padatnya tugas laporan kasus yang harus aku selesaikan. Tapi ternyata, film ini lebih dari sekadar tontonan. Film ini malah seperti perjalanan batin—ngasih aku pelajaran hidup yang dalam, dan tanpa sadar membuatku ikut merenung lebih dalam soal diri sendiri.

Trilogi ini dimulai dengan tokoh Bilbo Baggins, seorang hobbit yang tinggal damai di The Shire—tempat yang nyaman, tenang, hijau, dan menyenangkan. Tempat di mana kamu bisa minum teh di jam 4 sore sambil baca buku dan menikmati udara sore. Bilbo suka dunia seperti itu. Dia bukan penggemar petualangan, dia lebih suka rumah dan buku-bukunya.

Tapi hidup mulai berubah ketika Gandalf datang, diikuti oleh para dwarf yang membuat kekacauan di rumahnya. Bilbo awalnya sangat terganggu. Tapi di sinilah awal dari perubahan besar dalam hidupnya. Bilbo yang tadinya nggak suka petualangan, akhirnya memutuskan untuk ikut pergi. Meski diragukan oleh Thorin dan bahkan dirinya sendiri, Bilbo tetap maju.

Aku terharu banget waktu lihat gimana Gandalf percaya penuh pada Bilbo, bahkan ketika Bilbo sendiri masih ragu akan dirinya. Gandalf bilang bahwa Bilbo lebih dari yang dia pikirkan. Dan ternyata, itu benar.

Sepanjang perjalanan, Bilbo menunjukkan banyak hal: keteguhan hati, keberanian yang lahir di tengah rasa takut, dan kesetiaan pada kebenaran. Aku kagum banget sama Bilbo. Dia nggak punya kekuatan luar biasa, tapi hatinya kuat. Dia tetap bertahan, terus berusaha, dan punya rasa percaya diri yang tumbuh seiring langkahnya.

Salah satu scene yang bikin aku merenung adalah saat Bilbo tetap berdiri di depan batu besar di Gunung Sunyi untuk mencari lubang kunci, padahal yang lain sudah menyerah. Ketekunan dan kesabarannya berbuah hasil. Dia berhasil menemukan cahaya bulan yang menunjukkan lubang kunci itu. Kadang kita cuma perlu bertahan sedikit lebih lama, dan percaya bahwa usaha kita nggak sia-sia.

Thorin, si pemimpin pasukan dwarf, juga menunjukkan sisi manusiawi yang dalam. Ia keras kepala, trauma oleh masa lalu, dan terobsesi pada takhtanya. Tapi pada akhirnya, justru Bilbo yang menyelamatkannya dari gelapnya keserakahan. Di akhir kisah, Thorin akhirnya mengakui keberanian dan ketulusan Bilbo, bahkan menyebutnya sebagai teman sejati. Dan saat Bilbo harus berpisah dengan para dwarf, aku nangis. Scene ketika Bilbo bilang mereka bisa datang ke rumahnya kapan saja, tanpa perlu mengetuk, itu begitu menghangatkan hati. Dari seseorang yang dulu tak suka keramaian, Bilbo sekarang membuka pintu rumah dan hatinya lebar-lebar.

Di antara petualangan dan pertempuran, ada juga kisah cinta yang menyentuh: Kili dan Tauriel. Cinta dua dunia yang nggak biasa. Kili, seorang dwarf muda. Tauriel, elf pemberani. Koneksi mereka kuat sejak pertama kali bertemu. Mereka ngobrol, tertawa, dan saling memahami, meski berasal dari dunia yang sangat berbeda. Dan saat Kili terbunuh di medan perang, Tauriel menangis patah hati. “Kenapa ini sakit banget?” katanya. Dan jawaban yang muncul adalah, “Karena itu nyata.” Sakit karena nyata. Itu kalimat yang sederhana tapi dalam. Kadang cinta yang paling tulus pun harus berakhir dengan kehilangan.

Lalu ada Legolas. Yang mencintai Tauriel dalam diam, yang tetap bertarung di medan perang meski ayahnya melarang. Tapi cintanya tetap tak berbalas. Legolas mencintai dengan tulus, tapi diam. Dan rasanya pilu banget melihat seseorang yang berjuang sendirian tanpa bisa memiliki.

Setelah nonton ketiga film ini, aku jadi makin yakin satu hal:
Kita nggak perlu punya kekuatan luar biasa untuk jadi berharga.
Cukup jadi seseorang yang terus berani melangkah, bahkan ketika hati kecil kita gemetar.
Sama seperti Bilbo—yang kecil, sederhana, tapi besar dalam keberanian dan hati.

Terima kasih, The Hobbit.
Kamu nggak cuma hiburan.
Kamu guru kehidupan.



Komentar

Postingan Populer