No sword, just heart

Aku baru saja menyelesaikan film The Hobbit: An Unexpected Journey. Film itu membuatku berpikir banyak—bukan cuma tentang dunia fantasi, naga, atau negeri para peri, tapi tentang hidupku sendiri.

Aku selalu suka The Shire. Tempat itu tenang, nyaman, penuh dengan bunga, teh hangat, dan rumah-rumah kecil yang rasanya seperti pelukan. Bilbo tinggal di sana. Hidupnya sederhana, damai, dan cukup. Dia tidak pernah berpikir untuk pergi jauh dari rumahnya. Tapi suatu hari, pintunya diketuk. Gandalf datang. Petualangan menanti.

Awalnya, Bilbo menolak. Tapi kemudian… dia pergi. Dia berlari. Meninggalkan semuanya.

Dan entah kenapa, aku merasa… aku juga pernah jadi Bilbo.

Dulu aku anak SMA yang tinggal di rumah, hidup enak, segala sesuatu terasa aman. Tapi aku punya impian yang mesti di jemput. Dan karena mimpi itu, aku pergi. Aku ninggalin rumah, hidup di kos-kosan, atur semuanya sendiri—hidupku, waktuku, tenagaku, air mataku.

Bukan karena aku pemberani. Tapi karena aku nggak mau kalah sama keraguan yang sering kali ribut di dalam kepalaku.

Petualangan ini membentukku. Kadang aku menangis. Kadang aku kuat. Kadang aku nyaris nyerah. Tapi aku tetap berjalan. Sama seperti Bilbo, yang awalnya diragukan, bahkan diremehkan oleh Thorin dan para dwarf. Tapi Bilbo tetap melangkah. Dia nggak perlu bukti dari siapa pun, karena dalam dirinya sudah ada keyakinan kecil bahwa dia ingin ikut, dia ingin berbuat sesuatu. Dia ingin membuktikan… bukan pada orang lain, tapi pada dirinya sendiri.

Setelah lulus dan disumpah jadi dokter, perjalanan baru pun dimulai. Aku kembali harus meninggalkan rumah—kali ini untuk menjalani masa internship. Berat, ya. Tapi aku jalanin. Dan dari semua perjalanan ini, ada satu hal yang selalu aku bawa:
Kerinduan untuk pulang.

Entah kenapa, meskipun dunia luar memberiku pelajaran, tantangan, dan kekuatan, hatiku selalu rindu rumah. Selalu rindu The Shire-ku sendiri.

Aku, kamu, Bilbo, kita semua… sedang dalam petualangan masing-masing. Ada hari di mana kita rindu rumah. Ada hari di mana kita merasa kecil dan tidak dianggap. Tapi tidak apa-apa.
Kita tetap berharga. Kita tetap pantas dihargai. Bahkan saat kita belum 'berhasil'.

Dan tidak peduli sejauh apa langkah kita, hati kita akan selalu tahu satu tempat yang ingin kita datangi:
Pulang.



Komentar

Postingan Populer