Between the Shire and Erebor

Saat aku nonton The Hobbit : An Unexpected Journey, ada satu hal yang cukup mengganggu—perlakuan Thorin ke Bilbo di awal pertemuan mereka. Thorin langsung menilai dan meremehkan Bilbo hanya karena Bilbo terlihat seperti sosok yang biasa saja. Seorang hobbit kecil yang tinggal di rumah nyaman, suka teh sore, dan tidak punya kemampuan bertarung. Waktu Thorin nanya, "Apa kamu bisa berperang? Punya senjata?" dan Bilbo dengan tenang jawab kalau dia jago masak, aku sempat ketawa—tapi juga sedih. Kenapa ya, seseorang harus direndahkan hanya karena pilihannya untuk hidup damai?

Hal seperti ini gak cuma ada di film. Di dunia nyata juga sering terjadi. Orang-orang yang hidupnya sederhana, tenang, dan gak heboh di permukaan sering banget dianggap “gak ada apa-apanya”. Bahkan disebut no life hanya karena gak eksis di sosial media, gak keliatan sibuk, atau gak punya pencapaian yang bisa diukur dari kacamata orang lain.

Padahal... Bilbo itu hidupnya damai. Dia merasa cukup. Dan menurutku itu pencapaian yang sangat luar biasa—karena gak semua orang bisa merasa cukup. Tapi orang lain dari luar justru ngelihat dia remeh. Seolah hidup yang gak sibuk dan gak kelihatan "besar" itu sama dengan gak berharga.

Tapi yang bikin aku makin sadar sesuatu adalah... ketika aku mulai melihat Thorin lebih dalam.

Thorin emang terlihat keras. Tapi setelah tahu kisah hidupnya, aku jadi ngerti kenapa dia begitu. Dia lahir di tengah kehancuran. Kampung halamannya direbut. Saat dia minta tolong ke bangsa elf, mereka cuma melihat dari kejauhan. Dalam perang melawan Orc, dia lihat sendiri kepala ayahnya dipenggal. Bangsanya hampir punah. Dia kehilangan rumah, kehilangan ayah, kehilangan kepercayaan pada dunia di sekelilingnya.

Dan di tengah semua itu... Thorin tetap berdiri. Dia gak lari. Dia memimpin bangsanya untuk bertahan hidup. Mereka jadi pandai besi, penambang, pembuat mainan, kerja keras untuk bertahan. Thorin marah, sedih, terluka—tapi dia bertanggung jawab. Dia ingin ambil kembali tanah kelahirannya. Dan itu niat yang besar. Terlalu besar, mungkin, sampai dia jadi dingin pada hal-hal kecil seperti keramahan atau kasih sayang.

Dari sini aku belajar satu hal penting:

Kita gak pernah benar-benar tahu alasan di balik sikap seseorang. Kita gak bisa nilai orang cuma dari satu sisi. Kita juga gak bisa nuntut dihargai kalau kita sendiri belum belajar untuk memahami.

Bilbo dan Thorin datang dari dua dunia yang berbeda—satu penuh kedamaian, satu penuh kehancuran. Tapi justru pertemuan mereka menunjukkan bahwa keberanian itu bukan hanya milik mereka yang berotot dan punya senjata. Keberanian juga milik mereka yang tetap lembut, tetap ramah, tetap memercayai kebaikan—meski dunia keras di luar sana.

Dan... penghargaan terhadap seseorang seharusnya gak perlu ditunda sampai dia "membuktikan diri". Setiap orang, dari awal hidupnya, sudah layak dihargai. Terlepas dari latar belakang, kemampuan, atau jalan hidup yang dia pilih.



Komentar

Postingan Populer