Ashes and light

Aku tak pernah menyangka, bahwa menonton sebuah film fantasi justru membawaku pada perjalanan emosional sedalam ini. Return of the King bukan sekadar kisah tentang pertempuran dan kemenangan, tapi tentang harapan, keputusasaan, dan cinta—dalam bentuk yang paling sunyi dan paling murni.

Aku menangis. Beberapa kali.

Pertama, saat Pippin bernyanyi. Lagu lembutnya dibalut visual kejamnya perang, cipratan tomat dan daging yang dimakan Denethor seolah menjadi metafora darah yang tumpah. Lalu tangisan lain menyusul saat Sam berkata, "I can't carry it for you, but I can carry you." Dan puncaknya, ketika Frodo ternyata ikut pergi ke Grey Havens—momen perpisahan yang begitu mendalam dan menyayat.

Namun, dari semuanya, satu yang paling membekas: keputusasaan.

Denethor adalah wajah dari jiwa yang tenggelam dalam emosi kelamnya sendiri. Ia menyerah bahkan sebelum bertempur. Ia tidak hanya kehilangan harapan—ia memilih untuk tidak memiliki harapan. Dan itu membunuhnya, bahkan sebelum tubuhnya benar-benar binasa.

Aku melihat bagian dari diriku dalam sosok itu. Aku juga pernah berada dalam lembah gelap dan dingin. Aku pernah kehilangan arah. Aku tahu rasanya saat harapan terasa seperti jebakan, bukan penyelamat. Saat punya harapan justru berarti bersiap untuk terluka lagi.

Namun, entah dari mana, datanglah cahaya. Bukan kilatan besar seperti dulu. Tapi nyala kecil yang cukup untuk kulihat. Cukup untuk kutahu bahwa aku belum sepenuhnya hilang. Dan saat kuperhatikan lebih dalam, cahaya itu ternyata adalah harapan juga. Sama seperti yang dulu melukaiku, tapi kali ini… ia datang dengan bentuk yang berbeda.

Kini aku paham: Harapan tidak harus besar. Cahaya tidak harus menyilaukan. Dan cinta… kadang datang dalam bentuk rasa kasihan. Kasihan adalah bentuk cinta paling murni, karena ia lahir dari empati. Ia membuat kita tak tega menyakiti, tak sanggup membiarkan orang lain runtuh begitu saja. Ia mungkin tak romantis, tapi ia menyelamatkan.

Aku belajar untuk tidak menghakimi. Setiap orang sedang bertempur di medan mereka masing-masing. Setiap jiwa yang memilih untuk tidak menyerah adalah ksatria.

Kemenangan hari ini bukan tentang menjadi pahlawan di mata dunia, tapi tentang menjadi seseorang yang lebih tenang, lebih damai, dan tidak lagi tenggelam dalam gejolak luka lama.

Dan kini, aku tak lagi menunggu untuk dicintai. Karena aku memilih untuk mencintai diriku sendiri— jiwa yang nyaris binasa, tapi berhasil kembali pulang, dibimbing oleh harapan yang kecil, tapi nyata.







Komentar

Postingan Populer