To feel is to heal

Kadang kita tumbuh terlalu cepat, terlalu kuat, sampai lupa bahwa kita pernah kecil dan mungkin, masih menyimpan luka dari sana.


Semoga siapa pun yang membaca ini, bisa tergerak untuk memeluk bagian dirinya yang dulu pernah ditinggalkan, diabaikan ditolak, dirunding, dan tidak dipilih. Karena berdamai dengan diri sendiri adalah bentuk keberanian paling tulus yang bisa kita lakukan.


Di usia 25 ini, aku mendapati diriku sering menangis.

Bukan karena kejadian-kejadian baru, tapi justru karena kenangan lama yang perlahan menampakkan diri kembali 
luka-luka yang dulu ku kira sudah sembuh, ternyata hanya tertimbun oleh waktu. Aku menyadari bahwa dulu, saat pertama kali luka itu hadir, aku bahkan tidak mengizinkan diriku merasa sakit. Aku menahannya, berusaha terlihat kuat, karena kupikir… itulah yang benar. Saat itu aku masih belasan tahun.

Ternyata luka-luka itu tumbuh bersamaku. Diam-diam mereka ikut dalam pertumbuhanku, mengendap di balik tawa-tawa pura-pura dan pencapaian yang ku banggakan.

Saat momen-momen tertentu hadir, ia seperti membunyikan lonceng pada ingatan lamaku. Dan di sanalah aku sadar:
Aku belum sembuh. Aku hanya menumpuknya.

Jadi sekarang, aku belajar untuk jujur pada diriku sendiri.
Aku tidak lagi menyangkal rasa sakit yang datang. Jika kenangan itu muncul dan menyakitiku, aku akan menangis. Aku akan menangis sepuasnya. Karena sekarang aku tahu, menangis bukan tanda kelemahan. Itu adalah cara tubuhku berkata: “Aku sedang bersedih, dan itu tidak apa-apa.”

Aku berhenti melabeli emosi sebagai positif atau negatif.
Kesedihan, kemarahan, kecewa, takut semuanya bagian dari diriku juga. Mereka ingin didengar, sama seperti rasa senang dan syukur yang lebih sering ku peluk. Dan yang mengejutkanku: ketika aku memberi ruang bagi emosi itu untuk hadir, intensitas lukanya perlahan menyusut. Yang dulu sebesar selimut dewasa, kini terasa seperti baju bayi yang bisa kupegang dan kupeluk tanpa takut.

Perjalanan menjadi dewasa bagiku, sejatinya adalah perjalanan memeluk luka.
Bukan menolaknya. Bukan menguburnya. Tapi duduk di sampingnya, dan berkata:
“Kita bisa lewati ini bersama.”

Aku sedang belajar menyembuhkan.
Dan dalam proses itu, aku mulai mencoba terhubung dengan diriku yang dulu—aku yang kecil, polos, takut, dan sendirian. Dia masih bersedih. Kadang masih ragu untuk percaya padaku. Tapi aku tidak menyerah. Aku ingin jadi orang dewasa yang dulu dia butuhkan.

Aku membelikan dia boneka rajut yang lucu. Sekarang dia punya dua:
Hikun, si biru kecil yang selalu tampak tenang, dan Jongtoram, si merah jambu yang menggemaskan dan ceria.
Aku juga membiarkan dia mendengarkan musik apapun yang ia suka—bahkan aku berikan Spotify Premium, karena aku tahu dulu dia harus minta-minta file lagu ke teman sekelas. Kadang dikasih, kadang diabaikan.

Aku mengajaknya ke Mr. DIY, membeli pena lucu dan buku bergambar yang lembut, agar dia bisa menuliskan perasaannya di sana. Aku izinkan dia jadi dirinya sendiri, tanpa takut ditolak.

Mungkin dia belum sepenuhnya percaya. Tapi sekarang dia tahu: ada aku di sini.
Dan kami akan berjalan bersama—menangis bersama, tertawa bersama, menulis bersama, menyembuhkan bersama.


Komentar

Postingan Populer