The uncharted pages of self
Di usia seperempat abad ini, aku mulai sadar... ternyata tujuan menulisku bukan cuma untuk berbagi cerita atau mencatat pengalaman. Tapi lebih dari itu—ini adalah perjalanan. Perjalanan bagaimana aku akhirnya bisa mengerti, bisa menghubungkan kepingan-kepingan kejadian yang pernah aku lihat, aku alami, aku rasakan. Dan dari situ, muncul satu benang merah yang mengikat semuanya: duniaku sendiri.
Aku merasa saat memasuki usia dewasa, aku mulai hidup di dunia yang cuma bisa benar-benar kupahami sendiri. Terkadang rumit dijelaskan. Tapi menulis membuatku punya bahasa untuk itu semua. Makanya, lewat tiap jurnal yang ku tulis, aku mengajakmu untuk masuk kedunia ku tanpa paksaan, tanpa harus mengerti semuanya. Cukup ikut menyusuri.
Sehingga kamu bisa tau apa yang aku pikirkan dan emosi yang aku rasakan
Kalau boleh aku ibaratkan, setiap tulisanku itu seperti pameran. Ada banyak stand di dalamnya. Tiap stand punya topik dan suasana sendiri namun masih dalam core yang sama yaitu medis, karena memang itu dunia utamaku, kemudian perlahan melebar ke sosial, filosofis, kadang kala masuk ke aspek spiritual, sejarah, bahkan seni. Tentunya dengan gaya menulisku yang reflektif-personal-naratif-puitis. Dan kebanyakan human centered karena berangkat dari pengalaman manusia, emosi, keraguan dan pertanyaan batin, pertanyaan-pertanyaan ini lah yang membuat aku terus mencari tau. Semua saling terhubung, saling bersahutan, meski mungkin tampak beragam.
Dan ternyata, semakin sering aku menulis, semakin aku mengenal diriku sendiri. Semakin aku tahu apa yang aku suka, apa yang membuatku penasaran, dan bagaimana cara pandangku terbentuk dari pengalaman-pengalaman kecil yang dulu sempat kuabaikan. Menulis membuatku dekat dengan diri sendiri, dan dari situ, aku jadi bisa lebih jujur dalam melihat dunia.
Akhirnya, aku paham kalau perjalanan menulis ini sangat ‘Ravenclaw’—rumah di Hogwarts dengan semboyan “Wit beyond measure is man’s greatest treasure.”
Dengan penuh kesadaran aku sudah menerima sorting hat yang menempatkanku di ravenclaw walo berkali-kali aku menyangkalnya, sebab dulu aku sangat ingin menjadi bagian dari gryffindor
Aku belajar bahwa keberanian terbesar bukan cuma dalam bertindak, tapi juga dalam menyelami pikiran dan perasaan sendiri, berani bertanya tanpa harus langsung punya semua jawaban.
Menulis jadi caraku mengasah pikiran dan hati, serta menemukan jati diri di balik segala cerita.
Komentar
Posting Komentar