Mari berlayar ke dermaga yang sama
Ternyata… perbedaan cara pandang, nilai-nilai, dan prinsip hidup itu penting banget dalam hubungan jangka panjang. Aku baru benar-benar menyadari ini di umur 25. Bukan cuma tentang “bisa saling kompromi” atau “asal cinta cukup,” tapi tentang bagaimana dua jiwa bisa berjalan berdampingan tanpa saling meniadakan.
Karena gimana pun, cinta itu bukan proyek untuk mengubah orang lain agar cocok dengan kita, atau sebaliknya—mengubah diri kita agar diterima oleh dia. Tapi gimana dua orang yang punya nilai yang sejalan bisa saling tumbuh, saling jaga arah, dan gak saling meleburkan diri hanya demi status.
Aku mulai kebayang, betapa melelahkannya kalau dalam pernikahan nanti, aku dan pasangan beda prinsip dalam hal-hal fundamental. Gak sejalan cara pandangnya soal hidup, keluarga, cara memaknai cinta, atau bahkan cara melihat diri sendiri. Pasti capek banget. Rasanya seperti berlayar ke arah yang berlawanan, tapi tetap dipaksa tinggal di kapal yang sama.
Dan lebih sedih lagi kalau akhirnya salah satu dari mereka memilih diam, mengalah, dan kehilangan dirinya sendiri—demi menjaga hubungan tetap utuh. Sama aja seperti menukar jiwa demi status. Rasanya kayak… perlahan hilang dari diri sendiri, tapi orang-orang tetap melihatmu "bahagia" dari luar.
Makanya sekarang aku sadar: cara paling aman untuk tetap jadi diri sendiri setelah menikah, adalah menikah dengan seseorang yang nilai-nilainya gak jauh berbeda denganku. Karena penyelarasan visi hidup akan jauh lebih ringan jika kita sepemahaman dari awal.
Tapi dulu… aku bukan orang yang sekuat ini.
Dulu aku pernah menukar jiwaku demi cinta. Aku pernah sebegitu kerasnya berusaha dicintai, sampai lupa siapa diriku sendiri. Aku caper dengan berbagai cara, berpura-pura kuat, menyembunyikan luka, berusaha terlihat "cukup baik" untuk tetap dipilih dan dipertahankan.
Waktu itu aku kira cinta adalah tentang berkorban. Tapi ternyata bukan. Itu lebih seperti kehilangan—kehilangan diri yang sesungguhnya.
Aku takut kalau dia tahu siapa aku sebenarnya, dia akan pergi. Jadi aku tutupi sisi-sisi rapuhku, kubentuk topeng, kubangun versi diriku yang kusangka lebih pantas dicintai. Tapi ternyata, cinta yang menuntut kita untuk jadi orang lain bukanlah cinta. Itu ilusi. Dan aku tersesat cukup lama di dalamnya.
Setelah berbagai luka dan waktu yang panjang, aku akhirnya mengerti.
Bahwa mencintai diri sendiri adalah langkah pertama untuk bisa mencintai dan dicintai dengan sehat. Bahwa aku gak perlu berupaya untuk diterima. Gak perlu jadi versi yang dia suka, kalau itu berarti mengkhianati versi diriku yang aku suka.
Cinta sejati gak menghakimi. Cinta sejati gak menuntut kita untuk menyembunyikan luka atau membentuk topeng. Cinta sejati merangkul ketidaksempurnaan dan tumbuh bersamanya. Bukan mengubah, tapi mengisi.
Sekarang, aku ingin menjadi diriku yang aku suka.
Melakukan hal-hal yang memang aku mau dan senang. Bertanggung jawab pada hidupku sendiri, pada pekerjaanku, pada tubuh dan jiwaku. Aku ingin tahu diri, tahu kapan harus berkata cukup, tahu kapan harus berkata tidak, dan tahu kapan harus cut off orang-orang yang kehadirannya lebih sering melukai daripada menenangkan.
Aku gak mau lagi berjuang keras hanya untuk dicintai.
Aku ingin setia… pada diriku sendiri.
Aku tahu sekarang, bahwa perjalanan mencintai bukan tentang menemukan seseorang yang sempurna. Tapi tentang menemukan seseorang yang tidak membuatku harus kehilangan siapa aku sebenarnya.
Dan mungkin… sebelum aku sampai di dermaga yang sama dengan seseorang, aku perlu belajar menjadi nakhoda yang baik untuk diriku sendiri terlebih dulu.
Belajar membaca arah angin, menjaga layar tetap terbuka, dan tahu kapan harus berlabuh atau kembali ke tengah lautan untuk menemukan tenang yang baru.
Kini aku tak lagi takut berjalan sendiri.
Karena aku tahu, aku tidak sedang sendiri. Aku bersama jiwaku—yang selama ini cuma ingin didengar, dipeluk, dan dimengerti.
Dan jika suatu hari nanti aku bertemu seseorang yang juga setia pada jiwanya sendiri,
mungkin saat itulah kami bisa berlayar…
menuju dermaga yang sama.
Komentar
Posting Komentar