Even the coldest winter ends
Kemarin malam aku sedang ada di musim dingin dengan badai salju besar. Lalu kemudian aku terperosok pada gletser yang rapuh yang membuatku tenggelam sampai dasar laut yang gelap.
Untuk pertama kalinya dalam hidup aku mempertimbangkan mati muda, pikiran ini tiba² terlintas di benakku.
Hanya melintas tanpa ada intensi dan tindakan yang mengarah kesana hanya sepintas berandai kalo aku mati muda aku bakal melepas semua yang bikin aku ngerasa berat dan aku ga perlu mikir lagi apa yang bakal terjadi dimasa depan hmm.
Biasanya aku selalu berkata pada diriku sendiri, “Aku gak mau kalah sama kehidupan.” Tapi entahlah, realita terus menghantam tanpa jeda, dan aku… hampir saja memilih menyerah.
Padahal sebelumnya, menyerah bahkan gak pernah masuk dalam opsi.
Hari itu aku menangis dari sore sampai malam, sampai akhirnya ketiduran dalam keadaan lelah dan kosong.
Tapi paginya, aku bangun. Mandi. Pergi bekerja.
Aku follow-up pasien, salah satu pasienku hari itu dengan tetraparese ec hipokalemia, setelah koreksi kalium saat ku periksa motoriknya membaik.
Perasaanku lega, ada kehangatan kecil di dada. Aku senang melihat pasienku perbaikan. Ternyata aku masih bisa merasa.
Lalu saat aku pulang, aku kepikiran untuk beli es cappuccino. Aku masih pengen bubur ayam buat sarapan. Dan saat makan… aku masih bisa ngerasain enaknya makanan itu. Aku masih bisa menikmati sarapan ku hari itu di barengi dengan menyetel Mido and Falasol ~ Me to you, You to me, on loop sejak membuka bungkus bubur ayam sampai aku benar² menyelesaikan draft ini
Aku sadar, aku masih hidup.
Dan hidupku… ternyata masih berharga.
Aku juga pernah mendengar ujaran dari temanku dulu:
"Aku mau balik ke uterus mamaku aja. Aku nyesel udah lahir."
Dulu waktu aku dengar itu, aku bingung. Gak ngerti kenapa dia bisa bilang kayak gitu. Tapi 2–3 tahun kemudian, pikiran serupa mampir di benakku. Dan aku jadi ngerti. Aku gak bingung lagi.
Orang-orang yang pernah punya pikiran buat mengakhiri hidup, atau bahkan cuma terlintas, sejatinya mereka gak benar-benar pengen mati kok.
Mereka hanya lelah.
Gelombang emosinya sedang pasang.
Dan gelombang itu bisa sangat besar, sangat menguras, sangat menenggelamkan.
Tapi setelah aku belajar mengenali tiap gelombang itu, aku mulai bisa mengendalikan.
Bukan tenggelam, tapi mengambang.
Karena semua emosi itu seperti cuaca—sedih, marah, kecewa, hampa—mereka bisa datang tiba-tiba. Tapi mereka juga sementara.
Datang… lalu pergi.
Jadi, akui saja kehadiran mereka. Biarkan mereka lewat.
Kamu gak harus selalu kuat. Tapi kamu juga gak sendiri.
Aku masih bisa merasa jernih.
Aku masih pengen hidup, kok.
Dan temanku itu juga… dia masih hidup. Dia terus melanjutkan hidupnya. Dan aku bangga padanya.
Masih ada pasien yang mau ku tanya keluhannya apa
Masih ada bubur ayam lain yang belum aku cicipi.
Masih ada drakor ongoing yang belum aku tahu ending-nya.
Kalau kamu sedang lelah, aku pengen bilang... kamu gak sendiri.
Aku juga pernah ada di titik itu. Gelap, kosong, pengen berhenti.
Tapi tolong, bertahan sebentar lagi. Satu hari lagi. Satu jam lagi. Satu napas lagi.
Kalau rasanya terlalu berat buat dihadapi sendirian, gak apa-apa buat minta tolong. Jangan ragu cari bantuan profesional.
Bukan karena kamu lemah, tapi karena kamu berharga dan pantas ditolong.
Kamu gak harus melalui semuanya sendirian.
Dunia ini masih punya ruang untukmu.
Kamu berhak untuk hidup, untuk dicintai, untuk merasa aman.
Kamu penting. Kamu berarti. Dan kamu layak hidup.
Terima kasih karena masih di sini.
Komentar
Posting Komentar