Distance, principles and peace

Aku sebel sama temanku. Bukan karena dia jahat atau menyakitiku secara langsung, tapi karena dia terlalu gampang kebawa arus. Dia terlalu mudah percaya sama omongan orang, terlalu gampang ikut saran tanpa disaring dulu. Seolah-olah nggak ada filternya, semua yang masuk langsung ditelan mentah-mentah.


Padahal ya, saran itu hak kita buat ambil atau abaikan. Nggak semua saran itu membangun. Kadang malah bikin kita ragu sama diri sendiri. Tapi akhirnya, aku sadar... dia belum cukup kokoh sama pendiriannya. Dan aku nggak bertanggung jawab sama perkembangan emosional orang lain. Aku nggak bisa terus-terusan jadi tempat sandaran, apalagi kalau dia sendiri belum bisa berdiri untuk dirinya.

Yang bikin aku makin kecewa, dia ikut terbawa arus dalam menilai aku. Hanya karena aku nggak join nongki sama teman barunya, aku dipertanyakan. Dibilang nggak asik, dibilang tertutup. Ya maaf aja, aku emang nggak klik sama mereka. Dan buatku, kalau nggak ada urgensi profesional, ngapain maksa diri buat ketemu?

Sayangnya, dia malah ikut-ikutan teman barunya. Lupa kalau dia lebih dulu kenal aku, lebih dulu paham siapa aku. Tapi ya sudahlah. Aku milih buat jaga jarak. Ranah komunikasi cukup profesional aja. Nggak semua orang berhak lihat diriku yang utuh. Apalagi kalau prinsip dan cara pandangnya udah beda jauh.

Aku ingat, dia pernah minta maaf dulu. Tapi ini bukan soal salah atau benar, ini tentang dinamika. Tentang proses. Tentang kenyataan bahwa nggak semua perbedaan harus diluruskan. Kadang lebih baik membiarkan orang belajar sendiri lewat perjalanan hidupnya.

Aku juga mulai merasa nggak nyaman tiap kali dia curhat soal hal-hal yang buatku nggak penting. Kenapa belum punya pacar, kenapa kesepian, kenapa semua temannya udah punya pasangan. Sementara aku, prinsipku jelas: aku nggak akan pacaran. Aku pengen suami, bukan pacar. Dan prinsip ini bagian dari keyakinan yang aku pegang.

Aku kasihan sih sama dia, tapi aku nggak bisa jadi tempat dia melimpahkan beban emosionalnya. Dia terlalu sibuk nyari jodoh sampai lupa memahami dirinya sendiri. Padahal, kalau belum kenal diri sendiri, gimana mau hadir utuh buat orang lain?

Akhirnya aku sadar: aku udah nggak mau lagi angkat telpon dia. Aku udah memutus pertalian emosional, walaupun komunikasi masih bisa terjadi kalau perlu. Buatku, itu juga bagian dari berpisah. Karena berpisah nggak selalu harus total, tapi bisa lewat jarak yang perlahan aku bentuk sendiri.

Dan aku nggak apa-apa. Aku tenang. Aku nggak marah. Aku cuma udah cukup.

Aku tahu, ini bukan tentang siapa yang salah atau siapa yang harus berubah.

Ini tentang aku yang makin paham siapa diriku. Tentang aku yang tahu batas mana yang harus kujaga, demi menjaga damai di dalam dada. Aku nggak perlu merasa bersalah hanya karena memilih menjaga diri. Aku nggak egois, aku bertumbuh. Dan kadang, pertumbuhan itu butuh keberanian untuk melepas yang nggak lagi sefrekuensi.

Aku tetap menghargainya sebagai manusia, sebagai bagian dari perjalanan hidupku. Tapi aku juga menghargai diriku lebih tinggi sekarang. Aku nggak bisa terus ada di tempat yang membuatku merasa harus menjelaskan kenapa aku jadi diriku sendiri.

Mulai sekarang, aku berjanji untuk lebih setia sama diriku. Untuk tetap berpegang pada prinsip, meski kadang aku harus berjalan sendirian. Aku tahu, yang tulus akan tetap tinggal. Dan yang lepas, mungkin memang bukan untuk terus ada.

Dan aku... aku baik-baik saja. Lebih dari itu, aku damai.

Aku sebel sama temanku. Bukan karena dia jahat atau menyakitiku secara langsung, tapi karena dia terlalu gampang kebawa arus. Dia terlalu mudah percaya sama omongan orang, terlalu gampang ikut saran tanpa disaring dulu. Seolah-olah nggak ada filternya, semua yang masuk langsung ditelan mentah-mentah.

Padahal ya, saran itu hak kita buat ambil atau abaikan. Nggak semua saran itu membangun. Kadang malah bikin kita ragu sama diri sendiri. Tapi akhirnya, aku sadar... dia belum cukup kokoh sama pendiriannya. Dan aku nggak bertanggung jawab sama perkembangan emosional orang lain. Aku nggak bisa terus-terusan jadi tempat sandaran, apalagi kalau dia sendiri belum bisa berdiri untuk dirinya.

Yang bikin aku makin kecewa, dia ikut terbawa arus dalam menilai aku. Hanya karena aku nggak join nongki sama teman barunya, aku dipertanyakan. Dibilang nggak asik, dibilang tertutup. Ya maaf aja, aku emang nggak klik sama mereka. Dan buatku, kalau nggak ada urgensi profesional, ngapain maksa diri buat ketemu?

Sayangnya, dia malah ikut-ikutan teman barunya. Lupa kalau dia lebih dulu kenal aku, lebih dulu paham siapa aku. Tapi ya sudahlah. Aku milih buat jaga jarak. Ranah komunikasi cukup profesional aja. Nggak semua orang berhak lihat diriku yang utuh. Apalagi kalau prinsip dan cara pandangnya udah beda jauh.

Aku ingat, dia pernah minta maaf dulu. Tapi ini bukan soal salah atau benar, ini tentang dinamika. Tentang proses. Tentang kenyataan bahwa nggak semua perbedaan harus diluruskan. Kadang lebih baik membiarkan orang belajar sendiri lewat perjalanan hidupnya.

Aku juga mulai merasa nggak nyaman tiap kali dia curhat soal hal-hal yang buatku nggak penting. Kenapa belum punya pacar, kenapa kesepian, kenapa semua temannya udah punya pasangan. Sementara aku, prinsipku jelas: aku nggak akan pacaran. Aku pengen suami, bukan pacar. Dan prinsip ini bagian dari keyakinan yang aku pegang.

Aku kasihan sih sama dia, tapi aku nggak bisa jadi tempat dia melimpahkan beban emosionalnya. Dia terlalu sibuk nyari jodoh sampai lupa memahami dirinya sendiri. Padahal, kalau belum kenal diri sendiri, gimana mau hadir utuh buat orang lain?

Akhirnya aku sadar: aku udah nggak mau lagi angkat telpon dia. Aku udah memutus pertalian emosional, walaupun komunikasi masih bisa terjadi kalau perlu. Buatku, itu juga bagian dari berpisah. Karena berpisah nggak selalu harus total, tapi bisa lewat jarak yang perlahan aku bentuk sendiri.

Dan aku nggak apa-apa. Aku tenang. Aku nggak marah. Aku cuma udah cukup.

Aku tahu, ini bukan tentang siapa yang salah atau siapa yang harus berubah.

Ini tentang aku yang makin paham siapa diriku. Tentang aku yang tahu batas mana yang harus kujaga, demi menjaga damai di dalam dada. Aku nggak perlu merasa bersalah hanya karena memilih menjaga diri. Aku nggak egois, aku bertumbuh. Dan kadang, pertumbuhan itu butuh keberanian untuk melepas yang nggak lagi sefrekuensi.

Aku tetap menghargainya sebagai manusia, sebagai bagian dari perjalanan hidupku. Tapi aku juga menghargai diriku lebih tinggi sekarang. Aku nggak bisa terus ada di tempat yang membuatku merasa harus menjelaskan kenapa aku jadi diriku sendiri.

Mulai sekarang, aku berjanji untuk lebih setia sama diriku. Untuk tetap berpegang pada prinsip, meski kadang aku harus berjalan sendirian. Aku tahu, yang tulus akan tetap tinggal. Dan yang lepas, mungkin memang bukan untuk terus ada.

Dan aku... aku baik-baik saja. Lebih dari itu, aku damai.



Komentar

Postingan Populer