Burning red to daylight
Hari ini aku nonton Sense and Sensibility, film adaptasi dari novel klasik karya Jane Austen.
Awalnya pengen nonton pakai subtitle Inggris biar bisa sekalian belajar listening, tapi nggak nemu. Jadilah aku nonton tanpa teks—tapi justru itu bikin aku lebih fokus dengerin dialognya.Ada satu bagian yang bikin aku pengen jeda sebentar.
Marianne ngomongin Edward gini:
“Edward is very amiable.”
“Amiable? But?”
“But there is something wanting… he’s too sedate.”
Kata amiable di sini maksudnya Edward itu orang yang baik, sopan, dan menyenangkan.
Tapi menurut Marianne, dia terlalu tenang—too sedate.
Sedate itu artinya kalem, serius, dan cenderung tidak emosional. Dalam konteks ini, Marianne ngerasa Edward kurang “spark.” Cintanya nggak terasa hidup. Dia butuh cinta yang lebih dari sekadar sopan santun—cinta yang membakar, yang bikin deg-degan, bukan yang adem ayem.
Dia langsung bandingin sama cinta yang kayak api, kayak Juliet, Guinevere, atau Eloise.
“To love is to burn, to be on fire.”
Aku langsung mikir, kok dia sok banget sih mendefinisikan cinta?
Tapi lucunya… deep down, aku ngerti maksudnya.
Karena each of us mungkin pernah ada di fase itu—fase percaya bahwa cinta yang indah itu harus yang bikin kupu-kupu di perut, deg-degan, penuh adrenalin. Yang menyenangkan, penuh kejutan, rame dan bikin kita merasa hidup.
Kayak Taylor Swift di era Red (2012):
“Loving him was red, burning red.”
Tapi makin ke sini, aku makin sadar: ketika dunia ngasih sisi gelapnya, yang aku butuh bukan cuma tawa... tapi
teduh. Tawa itu menyenangkan, tapi tenang itu
menyelamatkan.
Butterflies in stomach emang bikin kita senang,
kayak menggelitik gitu rasanya.
Tapi semua itu cuma sensasi, yang sifatnya sementara.
Untuk relasi jangka panjang, kita butuh sesuatu yang lebih stabil, yang lembut, tenang dan nggak meledak-ledak
Dan Taylor sendiri pun berubah cara pandangnya.
Di era lover lewat single Daylight (2019), dia bilang:
“I once believed love would be (burning red), but it’s golden. Like daylight.”
Daylight.
Cahaya yang bisa kita lihat tiap pagi. Lembut, hangat.
Hangat ya, bukan membakar.
Marianne emang sempat ngejar cinta yang membara,
Tapi semua itu cuma sensasi, yang sifatnya sementara.
Untuk relasi jangka panjang, kita butuh sesuatu yang lebih stabil, yang lembut, tenang dan nggak meledak-ledak
Dan Taylor sendiri pun berubah cara pandangnya.
Di era lover lewat single Daylight (2019), dia bilang:
“I once believed love would be (burning red), but it’s golden. Like daylight.”
Daylight.
Cahaya yang bisa kita lihat tiap pagi. Lembut, hangat.
Hangat ya, bukan membakar.
Marianne emang sempat ngejar cinta yang membara,
tapi akhirnya dia juga belajar.
Bahwa cinta yang sehat itu bukan yang bikin kita deg-degan terus,tapi yang bikin kita tenang, diterima, dan nggak perlu pura-pura jadi kuat.
Karena pada akhirnya, kita nggak butuh cinta yang bikin terbang.Kita butuh cinta yang jadi tempat pulang.
Dari judul film ini: Sense and Sensibility. Dua kata yang jadi poros cerita—sense sebagai logika, dan sensibility sebagai perasaan.
Sepanjang film, kita disuguhi dua karakter yang mewakili masing-masing sisi: Elinor, sang kakak yang lebih logis dan menahan diri, dan Marianne, yang hidup dengan seluruh gejolak dan emosinya. Tapi justru lewat keduanya, aku belajar bahwa gada yang salah dari keduanya. Yang perlu hanya satu: keseimbangan.
Elinor yang menahan emosi akhirnya berani membiarkan hatinya bicara, menyambut cinta Edward dengan air mata yang selama ini ga pernah dia izinkan jatuh. Sedangkan Marianne yang semula hidup dalam gairah dan impian, belajar menenangkan hatinya, dan menerima cinta Colonel Brandon—yang datang bukan dengan gejolak, tapi dengan kehangatan dan ketenangan.
Keduanya tumbuh. Keduanya mencintai. Dan aku jadi tahu, bahwa antara logika dan rasa, bukan tentang siapa yang lebih benar, tapi bagaimana keduanya bisa saling melengkapi, dalam perjalanan menjadi diri sendiri yang utuh.
Dan terakhir, aku mau berterima kasih kepada Jane Austen yang sudah menulis novel ini di tahun 1811—hampir dua abad yang lalu. Betapa kisah cinta dan kehidupan yang ia tulis terasa begitu timeless. Padahal kalau diperhatikan, film ini nggak menampilkan banyak adegan romantis seperti pelukan atau ciuman. Tapi justru itulah kekuatannya—Sense and Sensibility lebih banyak menunjukkan bagaimana cinta tumbuh lewat perubahan cara pandang, lewat logika dan perasaan yang perlahan-lahan belajar berdamai.
Fakta yang bikin aku makin kagum, waktu novel ini diterbitkan pertama kali, nama Jane Austen bahkan nggak dicantumkan. Di halaman judul hanya tertulis “By a Lady.” Karena di zaman itu, perempuan penulis belum dianggap serius. Identitasnya disamarkan supaya orang fokus ke isi cerita, bukan siapa yang menulisnya. Baru setelah Jane meninggal, identitas aslinya diungkap ke publik.
Jadi selain kisah cinta yang timeless, novel ini juga jadi simbol keberanian seorang perempuan untuk bersuara meski harus diam-diam.
Bahwa cinta yang sehat itu bukan yang bikin kita deg-degan terus,tapi yang bikin kita tenang, diterima, dan nggak perlu pura-pura jadi kuat.
Karena pada akhirnya, kita nggak butuh cinta yang bikin terbang.Kita butuh cinta yang jadi tempat pulang.
Dari judul film ini: Sense and Sensibility. Dua kata yang jadi poros cerita—sense sebagai logika, dan sensibility sebagai perasaan.
Sepanjang film, kita disuguhi dua karakter yang mewakili masing-masing sisi: Elinor, sang kakak yang lebih logis dan menahan diri, dan Marianne, yang hidup dengan seluruh gejolak dan emosinya. Tapi justru lewat keduanya, aku belajar bahwa gada yang salah dari keduanya. Yang perlu hanya satu: keseimbangan.
Elinor yang menahan emosi akhirnya berani membiarkan hatinya bicara, menyambut cinta Edward dengan air mata yang selama ini ga pernah dia izinkan jatuh. Sedangkan Marianne yang semula hidup dalam gairah dan impian, belajar menenangkan hatinya, dan menerima cinta Colonel Brandon—yang datang bukan dengan gejolak, tapi dengan kehangatan dan ketenangan.
Keduanya tumbuh. Keduanya mencintai. Dan aku jadi tahu, bahwa antara logika dan rasa, bukan tentang siapa yang lebih benar, tapi bagaimana keduanya bisa saling melengkapi, dalam perjalanan menjadi diri sendiri yang utuh.
Dan terakhir, aku mau berterima kasih kepada Jane Austen yang sudah menulis novel ini di tahun 1811—hampir dua abad yang lalu. Betapa kisah cinta dan kehidupan yang ia tulis terasa begitu timeless. Padahal kalau diperhatikan, film ini nggak menampilkan banyak adegan romantis seperti pelukan atau ciuman. Tapi justru itulah kekuatannya—Sense and Sensibility lebih banyak menunjukkan bagaimana cinta tumbuh lewat perubahan cara pandang, lewat logika dan perasaan yang perlahan-lahan belajar berdamai.
Fakta yang bikin aku makin kagum, waktu novel ini diterbitkan pertama kali, nama Jane Austen bahkan nggak dicantumkan. Di halaman judul hanya tertulis “By a Lady.” Karena di zaman itu, perempuan penulis belum dianggap serius. Identitasnya disamarkan supaya orang fokus ke isi cerita, bukan siapa yang menulisnya. Baru setelah Jane meninggal, identitas aslinya diungkap ke publik.
Jadi selain kisah cinta yang timeless, novel ini juga jadi simbol keberanian seorang perempuan untuk bersuara meski harus diam-diam.
Komentar
Posting Komentar